Gaya Komunikasi Gen Z: Campuran Unik Pop Culture dan Media Sosial


Oleh: Dr Qudratullah MSos


Dosen di Universitas Islam Negeri bone


koran.my.id

– Media sosial sudah menjadi lingkungan utama untuk Gen Z dalam berinteraksi dan menyampaikan ide mereka.

Tidak seperti generasi-generasi sebelumnya, mereka cenderung berkomunikasi secara lebih visual, cepat, dan interaktif, hal ini disebabkan oleh pengaruh budaya populer yang semakin maju.

Pada pandangan ini, kita akan menyelami dampak dari budaya pop terhadap metode komunikasi Generasi Z dalam platform-media sosial, termasuk pengaruhnya yang luas kepada interaksi sosial sehari-hari mereka dan perubahan pola dalam pertukaran informasi secara daring.

Generasi Z, yang dilahirkan antara tahun 1997 sampai 2012 (Pew Research Center, 2019), berkembang di masa serba digital yang secara signifikan dipandu oleh budaya populer.

Mereka mengonsumsi konten dari berbagai platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube, di mana budaya populer global dengan cepat menyebar.

Dari tantangan tarian, meme, hingga terminologi unik sepeti “rizz” dan “based,” cara berkomunikasi generasi ini banyak dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Budaya pop tidak sekadar sebagai sumber hiburan untuk Generasi Z, melainkan juga mempengaruhi pembentukan jati diri sosial mereka.

Mereka menggabungkan elemen-elemen dari budaya populer ke dalam dialog sehari-hari mereka, entah itu melalui GIF, emoji, hingga jenis pesan suara dan klip video singkat (Boyd, 2014).

Komunikasi dalam gaya ini umumnya lebih dinamis jika dibandingkan dengan pendahulunya yang lebih banyak menggunakan teks berkepanjangan atau interaksi lisan langsung.

Generasi Z cenderung lebih menyukai komunikasi lewat bentuk konten visual seperti meme, video singkat, serta gambar. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Common Sense Media pada tahun 2022, dipaparkan bahwa sebanyak 75% dari para remaja memiliki kecendrungan untuk mengungkapkan identitas mereka via platform-media dengan basis gambar ataupun video daripada menggunakan tulisan terstruktur.

Layanan seperti TikTok dan Instagram Reels menjadikan dirinya sebagai pusat utama untuk membagikan kisah serta pemikiran mereka.

Di samping itu, mereka juga rajin menggunakannya stiker emoticon, gambar animasi GIF, serta efek penyaringan untuk melengkapi interaksi mereka.

Pada kasus ini, Gen Z cenderung mengandalkan simbol serta ekspresi tidak lisan daripada komunikasi yang didasari oleh teks panjang (McCrindle & Fell, 2021).

Ciri khas lain dari komunikasi Generasi Z adalah pemakaian bahasa yang padat dengan banyak singkatan, misalnya “LOL” (ketawa terbahak-bahak), “FOMO” (takut tertinggal serunya), atau “GOAT” (yang terhebat sepanjang masa).

Mereka pun kerap menerapkan kosakata gaul yang selalu berubah, sehingga membuatnya susah dimengerti bagi kalangan senior.

Berdasarkan data dari Pew Research Center (2021), generasi Z biasanya menghabiskan waktu lebih dari 3 jam sehari untuk berada di platform-media sosial, menikmati interaksi yang seringkali cepat dan tidak direncanakan terlebih dahulu.

Lebih memilih berkomunikasi secara instan, mereka merasa puas menggunakan fasilitas like pada Facebook Live ataupun obrolan dalam ruangTwitter Spaces.

Generasi Z tidak hanya menjadi penikmat konten melainkan juga pembuat yang gigih. Mereka kerap kali berpartisipasi dalam fenomena viral, menciptakan materi unik, serta mendirikan komunitas di dunia maya.

Phenomenon seperti kolaborasi “duet” di TikTok atau pemanfaatan hashtag untuk gerakan sosial menggambarkan cara mereka memanfaatkan media sosial sebagai alat untuk terlibat dalam dialog dunia.

Berdasarkan Jenkins (2006), model budaya yang melibatkan semua pihak seperti itu membuat remaja merasa punya tempat untuk berpendapat di tengah masyarakat. Mereka mengambil manfaat dari media digital untuk mengekspresikan pandangan mereka, mendirikan kampanye sosial, serta memberi dampak pada kebijakan politik.

Dengan menggunakan media sosial, Generasi Z bisa bersentuhan dan bertukar pikiran dengan orang-orang dari seluruh penjuru bumi yang punya ketertarikan sama.

Mereka bisa mengejar perkembangan dunia dalam sekejap mata serta terhubung dengan masyarakat di luar negeri. Hal ini meluaskan pemahaman mereka dan meningkatkan pertukaran gaya budaya yang popular melewati perbatasan negara.

Pop culture pun ikut memengaruhi bagaimana Generasi Z menerima informasi. Mereka cenderung lebih tertarik pada metode belajar yang bersifat interaktif serta didasarkan pada konten audio-visual.

Berdasarkan penelitian dari Harvard Business Review (2022), teknik belajar menggunakan video menunjukkan tingkat pemahaman yang lebih baik pada Generasi Z jika dibandingkan dengan materi ajar konvensional bertekst.

Di samping itu, Generasi Z kebanyakan lebih teliti saat menyeleksi berbagai sumber informasi. Mereka condong untuk mengandalkan materi yang dibagikan oleh orang-orang yang dianggap otentik, misalnya saja para pengaruh sosial atau tokoh masyarakat yang visinya sejalan dengan milik mereka (Abidin, 2021).


Dampak Budaya Pop pada Cara Berkomunikasi Generasi Z

Kebudayaan pop mempunyai dampak signifikan pada cara berkomunikasi Generasi Z di platform-media sosial.

Menggunakan metode yang lebih visual, ringkas, serta melibatkan peserta, mereka sudah merombak cara berinteraksi di zaman digital ini.

Walau menghadapi hambatan pada saat berkomunikasi antara generasi yang berbeda, keuntungan dari cara komunikasi tersebut tetap tak bisa disepelekan, khususnya dalam menciptakan ikatan dunia dan meningkatkan laju pertukaran data.

Sebagai warga negara, kami harus mengerti serta menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut, khususnya di sektor pendidikan, usaha, dan interaksi sosial.

Dengan mengerti cara Gen Z bertukar informasi, kita bisa menjadi lebih berhasil saat mencoba menyentuh mereka dan membuat saluran komunikasi yang lebih inklusif dan responsif terhadap perubahan jaman.

Kebudayaan pop telah menjadi unsur yang amat signifikan dalam hidup Generasi Z, mengarahkan bagaimana mereka bersosialisasi, bertukar interaksi, serta menyampaikan identitasnya pada zaman serba digital ini.

Sebagai generasi yang hadir bersama kemajuan cepat di bidang teknologi, Gen Z menghadapi paparan besar dari budaya pop yang tersebar lewat bermacam platform media sosial semisal TikTok, Instagram, Twitter, serta YouTube.

Artis yang berasal dari industri hiburan, mode, permainan, dan bahkan para pengguna media sosial dengan cepat berpengaruh pada cara komunikasi mereka, entah itu di setting resmi atau non-resmi.

Salah satu efek besar dari budaya pop pada cara berkomunikasi Gen Z adalah penggunaan bahasa yang cenderung lebih informal dan singkat. Mereka sudah tidak asing lagi dengan kosakata gaul yang berasal dari internet, misalnya kata-kata seperti “vibes”, “simp”, “slay”, serta “rizz”.

Istilah-istilah baru tersebut umumnya bermula dari fenomena internasional yang hadir di film, lagu, atau platform media sosial sebelum tersebar pesat lewat meme dan pertukaran daring.

Metode komunikasi ini menggambarkan identitas serta kekhasan mereka, sambil berfungsi sebagai wujud solidaritas grup di dalam lingkungan maya.(*).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *